Archive for Oktober 1, 2006

Meneladani Akhlak Rasulullah

Oleh :KH Abdullah Gymnastiar

aagym.jpgRepublika 01/10/06 “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah menjadi bangkai? Maka, tentulah kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS Al Hujuraat:12

Menapaki hari demi hari dari bulan Ramadhan yang paling utama di antara segala bulan ini ternyata kita tidak semata-mata sedang menjalani suatu kewajiban dari Allah. Akan tetapi pada hakikatnya kita tengah menapaki nikmat demi nikmat, pahala demi pahala, serta ampunan demi ampunan dari-Nya.

Rasulullah SAW diutus oleh Allah ke dunia ini bertugas untuk menyempurnakan akhlak. Beliau ajarkan akhlak mulia pada keluarga, sahabat, dan umatnya. Terhadap siapa pun beliau menghormati. Beliau tidak berbicara cepat seperti orang angkuh. Namun beliau juga tidak berbicara pelan seperti orang yang malas berkata-kata.

Lisan Rasulullah dilimpahi curahan berkah yang melimpah. Beliau berbicara jelas, tegas, penuh makna dan menghujam ke hati para shahabat yang mendengarnya. Ucapan beliau sarat dengan hikmah, indah dan bernilai. Beliau tidak berbicara kecuali perlu. Beliau selalu membuka dan menutup pembicaraan dengan menyebut nama Allah.

Dengan demikian, maka sangat mustahil bagi Rasulullah SAW untuk berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain atau menceritakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan mereka.

Allah berfirman dalam hadits Qudsi, yang artinya : “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku. Kalau ia berprasangka baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Bila ia berprasangka buruk, maka keburukan akan menimpanya”. Allah SWT menuntun manusia hidup dengan adab kesopanan yang luhur. Jika mereka berpegang dengan adab tersebut, insya Allah akan tumbuh rasa cinta dan kebersamaan di antara mereka. Hidup bermasyarakat akan rawan konflik. Disengaja atau tidak selalu saja akan muncul potensi sakit hati. Dan Allah telah mengajari kita agar hidup jauh dari prasangka buruk (su’uzhan), mencari-cari kesalahan orang (tajassus), dan (ghibah) yaitu membicarakan aib saudaranya, yang jika mereka mendengarnya tentu akan sakit hati dan membencinya.

Berburuk sangka atau su’uzhan akan membuat hati kita capek dan busuk. Kita tahu bahwa prasangka-prasangka buruk akan memengaruhi cara berpikir, bersikap, dan mengambil keputusan. Selain merusak hati su’uzhan juga akan melenyapkan kebahagiaan, merusak akhlak dan akan menodai kedudukan kita di sisi Allah. Jika kita sadar bahwa su’uzhan itu buruk akibatnya, maka mengapa kita tidak berbaik sangka (husnuzhan) saja kepada orang lain?

Saat kita mengucapkan salam pada orang lain, kemudian tidak mendapat jawaban sedikit pun, maka cobalah untuk berbaik sangka. Siapa tahu orang yang kita salami tidak mendengar suara kita atau mungkin saja ia tengah konsentrasi berdzikir pada Allah. Biasakanlah kita melatih diri untuk mencari seribu satu alasan positif agar dapat memaklumi orang lain. Respons positif kita bisa dijadikan salah satu cara untuk menghindari kebiasaan ber-su’uzhan.

Orang yang gemar berburuk sangka, maka akan menderita sendiri. Hidupnya akan sempit, sesempit gelas yang terisi air. Kalau dimasukkan ke dalamnya sesendok garam saja, maka akan terasa asin seluruh airnya. Berbeda dengan danau, walaupun dimasukkan sekarung garam, maka airnya tidak akan menjadi asin, sebab airnya melimpah. Demikian juga hati kita, jika hati kita sempit sesempit gelas maka sedikit saja masalah akan membuat hati kita sakit. Dan bila hati sudah sakit maka apa pun yang terjadi, akan terlihat buruk oleh mata kita. Maka jika kita gemar berbaik sangka (husnuzhan), insya Allah hidup akan terasa tenang dan lapang.

Lingkungan juga dapat membentuk akhlak seseorang. Lingkungan orang-orang beriman dan terpuji akhlaknya, insya Allah akan menghindarkan diri kita dari berburuk sangka. Ketika ada orang tak dikenal datang ke rumah kita, jangan langsung su’uzhan. Tapi juga jangan sampai hilang kewaspadaan, waspada tetap dibutuhkan di samping kewajiban kita berbaik sangka. Kita kenali yang mendatangi rumah kita, maka jangan langsung kita su’uzhan terlebih dahulu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita selalu waspada agar dapat mengendalikan keadaan dengan tepat.

Belajar untuk mencari seribu satu alasan sebagai jawaban dari berbagai permasalahan dapat menjadikan kita selalu husnuzhan dengan tepat. Jangan sampai kita berbaik sangka pada para penjahat. Bisa-bisa, sebelum kita menyadarinya ternyata kita telah menjadi korban kejahatannya. Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau kita berbaik sangka pada maling. Ber-husnuzhan juga ada ilmunya, jangan sampai kita tertipu karena telah ber-husnuzhan pada orang yang tidak tepat. Ber-husnuzhan lah pada orang beriman dan akhlaknya mulia. Dan biasakanlah untuk selalu dapat memaklumi sikap orang lain dan tetap harus waspada.

Selain menghindari su’uzhan, Allah mengajarkan hamba-Nya melalui Rasulullah SAW untuk tidak ber-tajassus (mencari-cari aib orang lain) dan ber-ghibah (menceritakan aib orang lain). Dua hal buruk ini sangat akrab sekali dalam kehidupan manusia. Kadang malah bisa menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.

Ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai dan tanpa sepengetahuannya. Ghibah itu dimisalkan dengan memakan daging bangkai, sebab dengan ber-ghibah berarti kita telah merobek-robek kehormatan pribadi dan orang lain yang serupa dengan merobek-robek dan memakan daging yang sudah menjadi bangkai. Lebih dari itu, ayat dari surat al Hujuraat sebagaimana tersebut di atas, menganggap bahwa daging yang dimakan itu adalah daging saudara sendiri yang telah mati, sebagai gambaran betapa kejinya perbuatan seperti itu yang dianggap menjijikan oleh perasaan orang lain.

Saudaraku, apabila kita terlanjur ber-su’uzhan, tajassus, dan ghibah, maka wajiblah bagi kita untuk bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Ketika perbuatan dosa itu kita lakukan, maka secara langsung kita harus bertaubat, yaitu dengan cara berhenti dari perbuatan dosa dan menyesal atas keterlanjurannya serta bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang sudah terlanjur dilakukan itu.

Selain bertaubat, kita harus meminta maaf pada orang yang telah kita sakiti dengan su’uzhan, tajassus, dan ghibah yang telah kita lakukan. Jika kita tidak sempat meminta maaf padanya karena ia telah tiada, maka doakanlah kebaikan bagi diri dan keluarganya. Dengan demikian, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa yang telah kita perbuat dan tentu saja kita berharap menjadi golongan orang-orang yang bertakwa. Wallahu a’lam.

Oktober 1, 2006 at 11:11 pm Tinggalkan komentar

Bertanyalah Selalu

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Aa gymDalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil menjungkalkan lawan tandingnya. Ketika akan menebaskan pedangnya, orang itu segera meludahi wajah Ali. Dengan refleks, Ali menarik tangannya. Ia pun tidak jadi membunuh lawannya. Ali, kenapa engkau tidak jadi membunuhku? tanya orang itu heran. Aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tetapi karena engkau meludahiku!.
Sungguh luar biasa. Ali masih mampu mengandalikan diri walau dalam kondisi kritis. Kisah ini memberikan pelajaran berharga, kita harus mampu mengendalikan diri dalam berbagai situasi, tempat dan waktu berbeda. Tak heran bila mengendalikan diri tergolong jihad an-nafs. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW bahwa perang melawan diri (nafsu) lebih berat dari Perang Badar.
Kata kunci mengendalikan diri adalah mampu mengendalikan nafsu. Kita dapat mengumpamakan nafsu sebagai kuda dan setan sebagai pelatihnya. Ketika kuda itu tunduk kepada kita–bukan kepada setan, maka kita mampu menghemat energi dan mampu mencapai tujuan dengan lebih cepat. Namun sebaliknya, kalau kuda (nafsu) itu tidak terkendali, maka kita akan seperti rodeo, terombang-ambing, terpelanting lalu binasa.
Salah satu tabiat nafsu adalah tidak seimbangnya antara kesenangan yang didapat dengan akibat yang harus dipikul. Memakan makanan haram misalnya. Rasanya memang enak, tapi hanya sebentar saat di mulut saja. Mudaratnya pun sungguh luar biasa, doa kita tidak diterima, hati menjadi gelisah, bisa menghancurkan rumahtangga, harta jadi tidak berkah, merusak mental anak, dsb. Belum lagi api neraka yang siap menyambut. Begitu pula dengan pandangan tak terjaga. Melihatnya hanya beberapa saat, tapi bayangannya sulit dilupakan. Shalat pun jadi tidak khusyuk. Maka, kita jangan sekali-kali meremehkan nafsu. Karena bila tak terkendali dapat menghancurkan hidup kita.
Ada banyak segi yang harus selalu kita kendalikan, khususnya saat Ramadhan seperti sekarang. Seperti panca indra, perut, syahwat, ataupun perasaan. Andai kita memandang, tahanlah sekuat mungkin dari sesuatu yang diharamkan. Segera berpaling karena Allah SWT melihat yang kita lakukan. Ketika mau menonton TV bertanyalah, Haruskah saya nonton acara ini? Apa ini berpahala? Kalau tidak, matikanlah segera TV tersebut. Untuk lebih menjaga pandangan ada baiknya di samping tempat tidur kita sediakan Alquran agar mudah dibaca, atau sipakan buku bacaan di sekitar tempat kita beraktivitas agar kita selalu terkondisi untuk melakukan hal-hal yang positif.
Mengendalikan nafsu perut juga tidak kalah penting. Bertanyalah selalu sebelum menyantap makanan. Apakah saya harus membeli makanan semahal ini? Apakah saya harus makan sebanyak ini? Apakah yang saya makan ini terjamin kehalalannya? Mana yang lebih baik, saya makan makanan sederhana dengan kalori yang sama dan sisa uangnya disedekahkan? . Kalau kita terus bertanya maka nikmat makan akan pindah; bukan dari nikmat rasa lagi tapi nikmat syukur.
Begitu pula ketika hendak berbelanja, proses bertanya harus selalu dilakukan sebagai alat mengendalikan keinginan dan nafsu. Luruskan niat terlebih dahulu. Jangan sekadar ingin, sehingga mengabaikan perhitungan. Lebaran tidak harus mengenakan baju atau aksesoris baru. Lebih baik kita memanfaatkan pakaian yang ada. Andai pun mau, sedekahkan uang tersebut kepada anak-anak yatim dan fakir miskin. Insya Allah akan lebih berkah.
Dengan terus bertanya kepada hati, insya Allah kita akan memiliki pengendalian diri yang baik. Apalagi yang kita miliki kalau kita tidak bisa mengendalikan diri dan terus ditipu serta diperbudak hawa nafsu. Apalagi yang berharga pada diri kita? Sungguh, tidak ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tidak di jalan Allah SWT. Kemuliaan hanya bagi orang yang bersungguh-sungguh mengendalikan dan memelihara kesucian dirinya. Wallahu a’lam .
( KH Abdullah Gymnastiar )

Oktober 1, 2006 at 9:50 am Tinggalkan komentar

Puasa Transformatif

Oleh : Yudi Latif

yudi-latif.jpgKompas 28/09/06 Malik bin Dinar, seorang sufi asal Persia, meninggalkan kisah pertobatan yang menggugah. Bertampang keren dengan harta yang
berlimpah, Malik masih jua punya angan untuk diangkat menjadi
takmir masjid agung yang baru dibangun Mu’awiyah di Damascus. Maka,
rajinlah ia pergi ke masjid itu. Di salah satu pojoknya, ia
bentangkan sajadah dan selama setahun terus-menerus beribadah seraya
berharap agar setiap orang yang melihatnya shalat tersentuh.

“Alangkah munafiknya engkau ini,” bisik hatinya. Setelah setahun
berlalu, bila malam datang, ia keluar dari masjid itu dan pergi
bersenang-senang. Pada suatu malam, di tengah-tengah keasyikannya
bermain musik, tiba-tiba dari kecapi yang dimainkannya seperti
terdengar suara: “Malik, mengapalah engkau belum juga bertobat?”
Hatinya bergetar, kecapi dilemparkan dan ia bergegas ke masjid.

“Selama setahun penuh aku berpura-pura menyembah Allah,” kata fajar
budinya. “Bukankah lebih baik jika kusembah Allah dengan sepenuh
hati? Alangkah hinanya beribadah sekadar untuk kedudukan. Bila orang
hendak mengangkatku sebagai takmir masjid, aku tak mau meneri-
manya.” Untuk pertama kalinya malam itu ia shalat dengan khusyuk dan
ikhlas.

Keesokan harinya, orang-orang yang berkumpul di masjid seperti baru
tersadar. “Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak. Kita harus
mengangkat seorang pengawas untuk memperbaikinya. ” Mereka bersepakat,
Malik-lah orang yang tepat. Menungguinya hingga usai shalat, mereka
lantas berkata: “Kami memohon kepadamu, sudilah menerima pengangkatan
kami.”

“Ya Allah,” seru Malik, “setahun penuh aku menyembah-Mu secara
munafik dan tak seorang pun yang memandangku. Kini, setelah
kuserahkan jiwaku pada-Mu dan bertekad tak akan menerima jabatan itu,
Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas
itu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tak menginginkan pengangkatan
atas diriku.”

Kisah ini membersitkan i’tibar bahwa ketulusan beribadah kepada Allah
memancarkan kepercayaan dalam relasi kemanusiaan. Masalahnya, entah
berapa banyak di antara kita yang beribadah sekadar demi dirinya
sendiri: bershalat demi tradisi, bangun masjid demi tutupi korupsi,
berhaji demi gengsi, berkhotbah demi mencaci, berzakat demi pamer
diri.

Membunuh ego

Beragama secara posesif, demi modus “memiliki” (to have) bukan
modus “menjadi” (to be), hanyalah berselancar di permukaan gelombang
bahaya, tanpa kesanggupan menggali kedalaman yang Suci. Tanpa
menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi
mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas- kontemplatif,
conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan
transformatif dengan yang suci dan yang profan. Tanpa penghayatan
spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair
John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk
berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup.
Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai
respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan
penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Singkat kata, tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti pada
yang Suci, peribadatan tak akan membawa dampak konstruktif, melainkan
destruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Ilahi
akan berpura-pura mengabdi kepada kemanusiaan. Oleh karena itu, tak
layak jadi pemimpin dan tak dapat dipercaya memikul amanah.

Puasa adalah momen pelatihan spiritual untuk membunuh ego dan
menghidupkan ketulusan pengabdian pada Ilahi. Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Semua amal anak Adam dilipatgandakan. Kebaikan di-
lipatgandakan sepuluh sampai seratus kali, kecuali puasa, kata Tuhan.
Puasa untuk Aku, dan Aku yang akan memberikan pa- halanya. Orang yang
berpuasa meninggal- kan keinginannya dan makanannya hanya karena
Aku… (Al-Bukhari dan Muslim).”

Energi yang menghidupkan

Memasuki bulan Ramadhan, kita jalani momen peluluhan diri untuk
hanyut dalam samudra kedalaman misteri Ilahi demi memulihkan energi
yang menghidupkan. Puasa Ramadhan adalah wahana pertemuan antara
tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Allah dan
perkhidmatan kepada kemanusiaan.

Lewat peluluhan sang ego dalam samudra rahmat ilahi, manusia bisa
menyibak pakaian-pakaian simbolik dari keagamaan yang menjadi pangkal
pertikaian menuju inti keberagamaan itu sendiri: compassion (rahman-
rahim). Betapa banyak orang yang mengaku beragama berhenti pada
rutinitas ritual-simbolik, tanpa kemampuan menemukan wahana
transformasi diri dalam keintiman dengan Langit Suci dan bumi insani.
Artinya, orang- orang beragama banyak yang lebih sibuk dengan urusan
pelana seraya melupakan kuda.

Berpuasa adalah wahana penemuan kembali “kuda” yang hilang sebagai
inti keberagamaan. Dengan latihan penahanan diri, kefakiran dan
derma, orang beragama ditempa komitmennya terhadap kehidupan etis,
disiplin, kebajikan, dan empati. Orang beragama diajak untuk
mengekang egotisme, ketamakan, kekerasan dan kebejadannya demi
membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Dengan berbagai bentuk perkhidmatan kepada manusia selama bulan
puasa, orang-orang beragama disadarkan bahwa persoalan kehidupan pada
akhirnya bukanlah persoalan apa yang kita percayai, melainkan apa
yang kita perbuat. Beragama menyangkut bagaimana berbuat sesuatu yang
mengubah perilaku kita secara mendalam. Dengan puasa, ritual-
peribadatan masih bernilai. Namun, nilai itu diberi bobot lebih
dengan meletakkan moralitas dan cinta pada jantung kehidupan
beragama, yang membuat agama bisa menjadi rahmat bagi sesama-semesta.

Marhaban, ya Ramadhan!
Yudi Latif adalah Deputi Rektor Universitas Paramadina dan Direktur Eksekutif Reform Institute

Oktober 1, 2006 at 9:30 am Tinggalkan komentar


Kalender

Oktober 2006
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Posts by Month

Posts by Category