Mudik Eksistensial

Oktober 26, 2006 at 12:33 pm Tinggalkan komentar

Oleh Ahmad Khoirul Fata

Kompas 23/10/06 Mudik menjadi ritus tahunan bangsa ini, dan Idul Fitri menjadi momen tepat pelaksanaan tradisi itu.

Meski menghabiskan banyak biaya, waktu, dan tenaga, ratusan ribu manusia bersedia melaksanakan ritual itu. Jauhnya jarak tidak menjadi hambatan bagi perantau untuk kembali ke daerah asal. Hanya ada satu tujuan di benak mereka; kembali ke tanah asal, kampung halaman.

Peristiwa mudik tidak bisa dilepaskan dari Idul Fitri dan Ramadhan. Kedekatan mudik dengan Idul Fitri terefleksikan pada kesamaan makna keduanya. Idul Fitri terdiri dua kata: ayd (kembali) dan al-fitrah (kesucian, sifat primordial manusia). Makna ini amat dekat dengan mudik berarti kembali ke (daerah) asal.

Menurut Seyyed Hossein Nasr (2003), secara hakiki manusia memiliki sifat primordial yang tertanam kuat dalam lubuk jiwa tiap insan. Sifat itu berupa kesaksian atas keesaan Tuhan (tauhid). Lebih jauh, Nasr melihat pada dasarnya manusia memiliki kemampuan intelegensia yang secara naluriah dapat menerima tauhid. Dengan potensi inilah manusia dapat mengenal Tuhan dan bertindak sesuai amanat Tuhan. Namun, yang perlu diingat adalah, manusia juga dibekali Tuhan potensi berkehendak yang dapat mendorong manusia melakukan tindakan. Potensi ini disebut sebagai al-nafs (nafsu).

Kedua potensi itu secara laten berdinamika dalam diri manusia. Di satu sisi, intelegensia mengajak kepada sifat ketuhanan, tetapi di sisi lain, nafsu mendorong ke arah sebaliknya.

Pertarungan dua unsur itu terus terjadi sepanjang usia manusia. Kemenangan satu potensi atas yang lain berarti pewarnaan perilaku dan pribadi seseorang sesuai orientasi sang pemenang. Karena itu, Nasr berkesimpulan, wahyu dan agama diperlukan manusia guna memindahkan dan mengusir selubung nafsu agar intelegensia dapat berfungsi tepat.

Adanya orientasi yang berbeda tidak lepas dari materi awal penciptaan manusia: tanah liat dan ruh. Tanah adalah simbol kegelapan, berorientasi pada kesenangan duniawi dan mewujud menjadi tubuh jasmani manusia, sedangkan ruh merupakan napas Tuhan yang ditiupkan ke jasmani manusia. Karena berasal dari Tuhan secara langsung, ruh memiliki sifat-sifat ketuhanan dan disimbolkan sebagai cahaya. Dua unsur itu secara filosofis digambarkan dengan perpaduan Yin dan Yang dalam ajaran Taoisme.

Dalam konteks ini, Islam mengajarkan, di awal penciptaannya manusia masih didominasi unsur cahaya dalam dirinya. Dominasi itu ditegaskan dalam Al Quran berupa perjanjian antara manusia dan Tuhan di alam rahim (QS Al-A’raf 172). Karena itu manusia oleh Nabi Muhammad disebut lahir dalam keadaan fitrah, kondisi primordial manusia dalam dominasi cahaya ketuhanan.

Namun, seiring berjalannya waktu, dominasi cahaya menjadi kian pudar dan digantikan oleh dominasi unsur kegelapan. Manusia pun mulai melalaikan perjanjian itu dan terperangkap dalam rutinitas hidup sehari-hari.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menggambarkan kondisi itu bagai debu-debu yang menempel di cermin. Dan, pribadi yang ada di bawah dominasi kesenangan duniawi disebutnya sebagai al-nafs al-amarah; jiwa yang mendorong manusia pada ketidaktaatan kepada Tuhan.

Ikatan kesamaan mudik dengan Idul Fitri terletak pada upaya manusia untuk kembali ke asal muasalnya. Pengelanaan manusia dalam rimba kehidupan membuat unsur cahaya gelisah dan akhirnya memberontak. Ujung kegelisahan itu mewujud kerinduan kepada Yang Asal.

Serupa dengan itu, kerelaan para pemudik menempuh jarak jauh untuk kembali ke kampung halaman merupakan wujud kerinduan mereka kepada asalnya setelah sekian lama terlalaikan karena kesibukan kerja.

Pribadi baru

Peristiwa mudik dan Idul Fitri diharapkan memberi spirit baru kepada manusia agar menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya. Proses itu telah disiapkan matang oleh Tuhan dengan meletakkan Idul Fitri setelah bulan Ramadhan.

Keberadaan Ramadhan sebelum Idul Fitri memiliki hikmah sebagai “mesin cuci” kepribadian manusia agar bersih dari noda kehidupan yang menempel. Dalam konteks ini, Ramadan didesain Tuhan untuk menghilangkan dominasi materi dalam jiwa manusia dengan berbagai praktik pengekangan hawa nafsu dan ritus-ritus ibadah.

Dalam bahasa tasawuf, dikenal tiga proses kembali kepada Tuhan; pengosongan diri dari berbagai dosa (takhalli), pemenuhan diri dengan amal yang baik (tahalli), dan puncaknya kembalinya sang hamba kepada Tuhan (tajalli). Di puncak ini, manusia telah bertransformasi dari pribadi yang didominasi kegelapan alam materi menjadi pribadi yang dipenuhi cahaya ketuhanan. Pribadi model inilah yang disebut Ibnu ’Arabi dan al-Jilli sebagai al-insan al-kamil (the perfect man).

Meski demikian, saat berada di puncak transformasi itu, manusia harus segera kembali kepada kehidupan asalnya untuk membagi cahaya ketuhanannya kepada lingkungannya. Kewajiban berzakat dan bersilaturahmi dalam menyambut Idul Fitri adalah bukti keharusan kembali itu.

Dalam artian ini, sang insan kamil tidak boleh egois menenggelamkan diri dalam pencerahan itu. Pencerahan yang diperoleh harus dibuktikan olehnya dengan berbagai aksi pencerahan masyarakat sekitar. Ia harus menjadi transformator masyarakat, bukan petapa yang tenggelam dalam rimba kesendirian.

Pencerahan yang transformatif secara apik termodelkan oleh Rasul Muhammad pada peristiwa Isra Mi’raj. Meski telah berada di puncak pencerahan persatuan dengan Tuhan di sidrat al-muntaha, sang nabi tetap kembali ke dunia untuk membebaskan masyarakatnya dari kegelapan dunia (jahiliah).

Ahmad Khoirul Fata Alumnus Magister Filsafat Islam (M.Fil.I) IAIN Sunan Ampel Surabaya

Entry filed under: Iqra.

Perbedaan Idul Fitri 1427 H Idul Fitri, Kemenangan (untuk Siapa?)

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Kalender

Oktober 2006
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Most Recent Posts